Buku ini bertujuan untuk menjelaskan pertimbangan hakim dalam menafsirkan Pasal 156a KUHP untuk menangani perkara tindak pidana penodaan agama dengan mengukur aspek maskulinitas dan femininitas dalam putusannya. Kebebasan hakim yang didasarkan pada kemandirian kekuasaan kehakiman di Indonesia juga dijamin dalam UUD 1945 sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 Ayat 1 bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Buku ini diharapkan dapat memberikan kontribusi akademik bagi pengembangan ilmu pengetahuan serta dapat memberikan manfaat banyak dalam bentuk bahan pembahasan bagi semua pihak yang menaruh perhatian pada peran sentral pengadilan sebagai salah satu pilar dalam negara demokrasi.