Deskripsi
Banyak kasus perceraian yang diajukan istri (cerai gugat) di Pengadilan Agama melibatkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Meskipun ada undang-undang khusus tentang KDRT, penghapusan kekerasan ini masih sulit dicapai. Dalam masyarakat, hukum dan budaya saling memengaruhi, dan budaya patriarki masih membentuk persepsi gender serta hukum yang terkadang gagal melindungi perempuan dari kekerasan. Meskipun system kekerabatan di Indonesia modern bersifat bilateral dan adanya upaya mendorong kesetaraan gender, suami tetap memiliki kuasa lebih besar karena perannya sebagai pencari nafkah utama.
Pengadilan Agama telah menerima KDRT sebagai alasan perceraian, tetapi hakim jarang menyebut kekerasan sebagai dasar keputusan, hanya mengakui “pertengkaran terus-menerus”. Meningkatnya cerai gugat menandakan perubahan relasi gender dan kuasa, dengan perempuan menggunakan pengadilan untuk menghentikan kekerasan dan menjadi agen aktif dalam menentukan status pernikahan mereka. Meskipun hukum negara dan agama masih memberikan hak istimewa kepada laki-laki, perempuan di Banyumas menggunakan sistem hukum Pengadilan Agama untuk menantang ketidakadilan dan bias gender dalam rumah tangga.